1
MOBILITAS SOSIAL PETANI DI SENTRA INDUSTRI
KECIL
Kasus di Surakarta 1)
Ravik Karsidi 2)
ABSTRACT
One
of the objective of this study is to know the causes and the process of
occupation transformation from
farmer
to small scale industries worker. The study was conducted in the regencies of
Sukoharjo and Klaten,
Central
Java.
The
push-and-pull factors that causes the occupation transformation from farmers to
small scale handicraft
industry
workers varied from the fulfilment of the need of life, the limited supply of
farm land, other people’s
invitation,
continuing the parents’ enterprise, the higher level of wages in the craft
industry sector, and the
availability
of apprenticeship system to the senior craftsmen. The apprenticeship system
became the dominant non
formal
education that transformed the farmers from agriculture to smal scale industry.
The transformation of jobs
from
agriculture to small scale industry had caused the social mobility, either
vertically or horizontally; further, it
created
new social stratification and diversification in the rural areas. Since most of
the households of the surveyed
villages
changed their occupation from farming to crafts industry, the character of the
rural villages which was
agrarian
changed to industry character.
The
limited opportunity available on the formal education and on the short courses
in small scale industry
subjects,
the apprenticeship system of the craftsmen became the dominant learning system
in their way to reach the
self
reliance in business and the success in the transformation from farmers to
craftsmen. Therefore, it could be
concluded,
that the apprenticeship system could be developed into an extension service of
the small scale industry.
Kata-kata kunci: magang, petani, pengrajin, deferensiasi
sosial, startifikasi sosial,
dan mobilitas sosial.
PENDAHULUAN
Pekerjaan industri kecil sering dipandang lebih
"halus" dan tidak kasar
dibandingkan sebagai pekerjaan bertani. Seorang buruh
pabrik atau pengrajin
industri kecil biasanya dianggap sebagai pekerjaan yang
lebih halus, karena dapat
bekerja di tempat yang tidak terkena panas terik
matahari, di dalam rumah, tidak
terkena kotoran tanah, sedangkan bekerja di sawah atau
tegalan memerlukan
mereka harus ke luar rumah, di bawah panas matahari, kena
kotoran tanah dan
lain-lain yang dianggap sebagai pekerjaan kasar. Selain
itu, dari segi penampilan
fisik buruh/pengrajin lebih gagah dibandingkan sebagai
buruh tani, maka tidak
jarang status sosial buruh pengrajin dipandang lebih
tinggi daripada bekerja sebagai
pekerjaan bertani. Walaupun skala usahanya kecil, sebutan
yang biasa
dipergunakan bagi mereka adalah juragan. Juragan adalah kelas pemilik usaha
yang menguasai aset produksi dan memepekerjakan buruh.
Walaupun sama-sama
menguasai aset produksi dan buruh, status sosial sebagai
pengrajin lebih tinggi
dibandingkan sebagai petani.
Dari kajian teoritis, mobilitas sosial petani ke
pengrajin tidak lepas dari kategorisasi
masyarakat petani dan karakteristik mentalitasnya, baik
yang masih primitif, peasant
maupun farmer ( Marzali, 1995; Foster, 1967; dan Wolf,1966) masyarakat
industri
yang menggambarkan masyarakat modern perkotaan dengan
segala ciri-cirinya.
Kedua jenis masyarakat tersebut memiliki struktur sosial
berbeda, yang dalam
konteks revolusi industri pernah dilakukan analisis oleh
Durkheim dengan
membendingkan sifat-sifat pokok masyarakat yang didasarkan
pada solidaritas
sosial mekanik dan solidaritas sosial organik. Pembedaan
keduanya bersifat
evolusionistis dalam arti bahwa yang kedua adalah
perkembangan dari yang
pertama ( Abdullah dan van der Leeden, 1986).
--------------------------------------
1) Sebagian dari Disertasi S3 Ilmu
Penyuluhan Pembangunan, IPB Bogor 1999.
2) Dr.Ravik Karsidi, MS. adalah Staf
Pengajar dan Ketua LPM Universitas Sebelas Maret dan pernah menjadi
Konsultan Bagian Pengembangan Usaha
Kecil Bank Indonesia di Jakarta.
3) Penelitian dilakukan di empat
lokasi, yaitu: Sentra Kayu Serenan, Sentra Logam Batur, Sentra Pandebesi
Koripan, semuanya di Klaten dan Sentra
Rotan Trangsan Sukoharjo.
2
Tulisan singkat ini merupakan kajian deskriptip
perpindahan pekerjaan petani
ke pengrajin sebagai suatu bentuk mobilitas sosial di
sentra industri kecil di
pedesaan sekitar Surakarta Jawa Tengah 3), yang ternyata pendidikan magang
mempunyai peranan yang penting sebagai jembatan bagi
perpindahan pekerjaan
tersebut ( Karsidi, 1999). Uraian berikut merupakan salah
satu bagian dari analisa
data deskriptip yang menguraikan proses perpindahan
pekerjaan tersebut (yang
didalamnya termasuk pendidikan magang) dan
membandingkannya dengan
keberhasilan transformasi pekerjaan dari petani ke
industri kecil yang dinyatakan
dengan suatu kondisi yakni pekerjaan sebagai pengrajin
industri kecil merupakan
pekerjaan utama (tidak lagi sebagai pekerjaan sambilan)
dan menyumbang
penghasilan yang lebih banyak dibanding penghasilan sebagai
petani.
Klasifikasi Pengrajin
Klasifikasi pengrajin industri kecil di pedesaan tempat
studi ini, dapat
digolongkan menjadi: (1) buruh pengrajin, (2) pengrajin ,
dan (3) pengrajin
pengusaha .
Pertama:
Buruh pengrajin
adalah tenaga kerja yang dibayar oleh pemilik
pekerjaan ( dalam hal ini oleh pengrajin), baik sebagai
buruh harian atau buruh
mingguan. Di lokasi studi ini tidak dikenal buruh sebagai
pegawai tetap (kecuali
tenaga administrasi yang bekerja pada pengrajin
pengusaha, dan kepada mereka ini
tidak biasa disebut buruh ). Semua upah pekerjaan buruh
dilakukan sesuai dengan
model borongan atau jasa harian atau jasa unit produksi.
Pada umumnya buruh
menerima upah secara harian dan diterimakan seminggu
sekali setiap akhir minggu.
Proses menjadi buruh hampir dipastikan melalui proses
magang, sehingga
dikenal istilah " buruh magang." Buruh magang
ini disebut buruh walaupun
upahnya sangat minin, bahkan kadang tidak dibayar,
kecuali hanya diberi makan
dan tempat tinggal bagi yang berasal dari luar daerah.
Buruh magang yang berasal dari dalam desa atau disekitar
sentra industri
kecil, lebih banyak bermotivasi agar kemudian menjadi
pengrajin mengikuti jejak
pendahulu mereka, adapun buruh magang dari luar desa pada
umumnya datang
dengan motivasi untuk menjadi buruh/pekerja dari
pengrajin.
Pada umumnya, buruh pengrajin yang bekerja untuk jangka
waktu yang
relatif sudah lama dan bekerja secara purna waktu,
berasal dari luar daerah atau
luar desa. Mereka ada yang tinggal di tempat kerja atau
pulang setiap hari sebagai
"commuter." Kebanyakan mereka berasal dari
keluarga petani, atau masih aktif
sebagai petani kecil, karena alasan terbatasnya pekerjaan
pertanian, maka mereka
mencari pekerjaan sambilan sebagai pengisi waktu luang
selagi tidak mengerjakan
pekerjaan petaniannya. Tidak sedikit diantara mereka yang
berasal hanya dari
buruh tani, sehingga pekerjaan sebagai buruh pengrajin
akhirnya menjadi pilihan
pekerjaan satu-satunya bagi mereka.
Beberapa buruh pengrajin yang sudah relatif lama menekuni
pekerjaan
sebagai buruh pengrajin dan telah merasa cukup
kemampuannya terutama
menuasai teknologi, memiliki alat dan aset usaha, mereka
cenderung berkemauan
untuk meningkatkan diri merintis menjadi pengrajin. Ini
terutama terjadi pada buruh
pengrajin yang berasal dari desa setempat.
Orang-orang yang berasal dari luar desa atau luar daerah,
yang semula
sebagai buruh pengrajin, dan saat ini telah menjadi
pengrajin, pada umumnya
mereka terlebih dahulu mengawini wanita dari desa sentra
industri ini kemudian
bertempat tinggal sebagai penduduk setempat, baru
kemudian menjadi pengrajin.
Kasus ini menunjukkan bahwa sebenarnya terdapat
ketertutupan penyebaran kerja
pengrajin, yakni untuk melindungi pekerjaan itu sendiri
agar tetap terjaga hanya
bagi warga setempat ( dalam arti sempit, bagi keluarga
atau paling tidak orang3
orang tersebut masih memiliki hubungan keluarga dengan
desa tersebut).
Ketertutupan itu dapat dilihat sejak proses magang, yakni
hanya orang-orang
terpercaya yang dapat diberikan pengetahuan penuh untuk
bisa menjadi pengrajin.
Kedua:
Pengrajin adalah
mereka yang berusaha dalam industri kecil, baik
sebagai pekerja sendiri maupun pengrajin yang dibantu
oleh buruh. Pengrajin
pekerja sendiri melakukan pekerjaan kerajinan yang
relatif terbatas bahkan karena
kecilnya skala usaha yang bersangkutan, maka mereka
memasarkan sendiri
secara keliling produknya dari desa ke desa lain. Mereka
ini umumnya disebut
pengrajin tradisional. Adapun pengrajin dengan dibantu
buruh adalah pengrajin yang
usahanya relatif besar, dan pada umumnya melakukan
"sub-kontrak pengerjaan
produk tertentu" dari pengrajin pengusaha/pengumpul,
atau melayani pemesanan
konsumen tertentu termasuk memasok kebutuhan barang
setengah jadi untuk toko
atau show-room. Ada pula di antara mereka yang
mengerjakan pekerjaan non
kontrak dengan pengusaha lain, yaitu menjual sendiri
dengan menjajakan "keliling"
seperti pengrajin tradisional, tetapi penjajanya adalah
buruh upahan dari pengrajin
tersebut.
Ketiga:
Pengrajin pengusaha
(pedagang pengumpul) adalah pengrajin besar
yang sudah berpengalaman dengan kecukupan modal tertentu
bagi usahanya.
Mereka telah menjalin hubungan kerja dengan pengusaha
lain, seperti eksportir dan
pemilik toko. Pekerjaan mereka dikenal sebagai memproduk
barang-barang "halus"
dengan kontrol kualitas dari pemesannya.
Pengrajin pengusaha/pengumpul mempekerjakan banyak buruh
untuk
memproduksi barang dan/atau menjalin hubungan sub-kontrak
dengan pengrajin
yang lebih kecil dengan cara “putting
out system”. Putting
out system adalah
cara
kerja produksi barang dengan pelaksanaan produksi di
rumah masing-masing
pekerjanya, sementara bahan kerja dan alat produksi
dicukupi oleh pemilik usaha.
Pemilik usaha melakukan kontrol kualitas, membayar upah
produksi, tetapi tidak
menanggung resiko pekerjaan termasuk kesehatan dan
jaminan sosial lainnya bagi
pekerjanya. Sistem seperti ini banyak juga didapati di
lingkungan perusahaan batik
di sekitar Solo dan Pekalongan bagi pekerja wanita atau
yang sering disebut buruh
rumahan ( Sjaifudian dan Chotim,1994).
Magang:
Penghantar Petani ke Pengrajin
Pendidikan "magang" menjadi kunci untuk memulai
dalam proses alih
pekerjaan ini. Tidak ada sekolah khusus yang menyiapkan
seseorang menjadi
pengrajin/buruh pengrajin, kecuali bahwa proses
pendidikan harus dijalaninya
secara praktikal dengan orang yang telah terlebih dahulu
memulainya dan berhasil
menjalankannya. Waktu magang tidak dapat ditentukan
lamanya, dan sangat
tergantung pada kemampuan pemagang menyerap pengetahuan
yang dipelajarinya
dan kemauannya kapan harus meninggalkan pekerjaan magang,
jika sekiranya
telah ada kesempatan baginya untuk memulai sendiri
pekerjaan tersebut.
Pada umumnya proses magang dimulai dengan seseorang
mengikut kepada
pengrajin dengan gaji ala kadarnya. Bagi beberapa orang
yang kebanyakan hanya
tamatan SD di Sentra Industri Kayu Serenan, misalnya,
hanya diberi imbalan makan
dan dibelikan pakaian pada saat hari raya. Proses
mengikut ini disebut sebagai
"kenek," dan lama waktunya tidak dapat
ditentukan kecuali tergantung pada
kemampuan dan ketrampilan "kenek" tersebut.
Jika seseorang telah dipandang
menguasai ketrampilan tertentu, maka akan naik statusnya
sebagai "buruh tukang."
Buruh tukang adalah tenaga buruh harian dengan
spesifikasi pekerjaan tertentu
yang belum memerlukan keahlian tinggi. Mereka digaji
secara harian atas dasar
hasil produksi yang diselesaikan. Seorang dengan status
"buruh tukang" dapat
disebut pula sebagai "buruh panggilan," yaitu
dapat dipanggil oleh pengrajin
4
manapun jika sedang memerlukan buruh tukang tambahan,
pada saat terjadi
lonjakan pekerjaan yang banyak, yakni buruh yang ada
tidak mencukupi untuk
menyelesaikan pekerjaan yang ada. Proses ini berjalan
sambil terjadinya proses
penilaian tidak langsung dari para pengrajin atau
majikannya atas kualifikasi buruh
tukang tersebut. Jika seseorang buruh tukang dianggapnya
memiliki ketrampilan
yang baik, maka pengrajin memberikan tawaran gaji
mingguan dengan standar
tertentu secara tetap.
Terdapat beberapa persyaratan magang. Dari empat sentra
industri lokasi
studi, hanya di sentra industri kayu Desa Serenan saja
didapati bahwa untuk
seseorang bisa magang pada suatu pengrajin dipersyaratkan
untuk membayar
"uang tanggungan" terlebih dahulu kepada
pengrajin. Uang tanggungan tersebut
merupakan bentuk motivasi agar seseorang yang magang
industri bersungguhsungguh
untuk belajar, sekaligus sebagai pinjaman modal kerja
bagi pengrajin tanpa
bunga. Uang tanggungan tersebut pada umumnya kemudian
dikembalikan setelah
pemagang menganggap selesai proses magangnya. Besarnya
uang tanggungan
antara Rp.150.000 sampai Rp.300.000 untuk jangka waktu
sekitar tiga bulan.
Biasanya aturan ini hanya diberlakukan bagi pemagang
bukan keluarga. Setelah
tiga bulan, jika masih terus menjadi pemagang, biasanya
diperlakukan sebagai
buruh, walaupun dengan gaji /imbalan sekedarnya.
Magang dengan sistim membayar terlebih dahulu ini, dapat
dikatakan
sebagai suatu proses institusionalisasi pendidikan
magang, sekaligus bentuk
pengakuan masyarakat bahwa pendidikan magang merupakan
bentuk proses
pendidikan yang harus dilalui oleh para calon pengrajin
industri kecil.
Belajar melalui pendidikan magang industri kecil yang
utama adalah
menguasai ketrampilan produksi, tetapi tidak menutup
kemungkinan juga pada
proses belajar aspek lain, seperti belajar tentang
manajemen dan pemasarannya.
Biasanya proses pembelajaran selain ketrampilan produksi
hanya diberikan oleh
pengrajin kepada keluarga dekat atau orang-orang yang
dipercaya saja. Hal ini
berhubungan dengan keamanan kelanjutan usaha pengrajin,
terutama tidak
diinginkan terjadinya saingan usaha dikemudian hari yang
bisa mengancam
usahanya. Apabila telah terjadi suatu pola hubungan "patron-client" antara pengrajin
dan pemagang, baru kemudian proses pembelajaran
menyeluruh tentang aspekaspek
usaha diberikan kepada pemagang. Hal-hal diatas sekaligus
menjadi syarat
tak terkatakan bahwa pemagang harus menjaga hubungan baik
dengan pengrajin
yang memberi kesempatan magang tersebut. Hubungan baik
ini juga harus terus
dilangsungkan seandainya pemagang telah menyudahi proses
magangnya.
Hubungan patron-client menjadi semacam pengikat diantara
mereka.
Buruh yang maju akan menggunakan waktu mereka bekerja
sambil belajar
terus-menerus meningkatkan diri, baik peningkatan segi
kuantitas maupun kualitas
pengetahuan/ ketrampilan ataupun produksi yang akan
berdampak pada
peningkatan penghasilan mereka. Disini sebenarnya masih
berlangsung pekerjaan
magang dalam arti untuk peningkatan kemampuan seseorang.
Belajar melalui pendidikan magang industri kecil yang
utama adalah
menguasai ketrampilan produksi, tetapi tidak menutup
kemungkinan juga pada
proses belajar aspek lain, seperti belajar tentang
manajemen dan pemasarannya.
Biasanya proses pembelajaran selain ketrampilan produksi
hanya diberikan oleh
pengrajin kepada keluarga dekat atau orang-orang yang
dipercaya saja. Hal ini
berhubungan dengan keamanan kelanjutan usaha pengrajin,
terutama tidak
diinginkan terjadinya saingan usaha dikemudian hari yang
bisa mengancam
usahanya. Apabila telah terjadi suatu pola hubungan "patron-client" antara pengrajin
dan pemagang, baru kemudian proses pembelajaran
menyeluruh tentang aspekaspek
usaha diberikan kepada pemagang. Hal-hal diatas sekaligus
menjadi syarat
5
tak terkatakan bahwa pemagang harus menjaga hubungan baik
dengan pengrajin
yang memberi kesempatan magang tersebut. Hubungan baik
ini juga harus
dilangsungkan seandainya pemagang telah menyudahi proses
magangnya.
Hubungan patron-client menjadi semacam pengikat diantara
mereka. Sebenarnya
proses magang bagi pemagang yang bukan anggota keluarga,
berlangsung bukan
secara terbuka, tetapi lebih banyak "tertutup."
Magang secara tertutup yaitu para
pekerja berusaha "mencuri" atau meniru
pengetahuan dan ketrampilan pengrajin
pendahulunya. Setelah merasa bisa berdiri sendiri,
kemudian mereka berusaha
memisahkan diri dengan pendahulunya yang
"dimagangi," atau yang disebut
sebagai pengrajin atau "juragan." Pemisahan
diri pemagang menjadi penyebab
yang bersangkutan naik tahta menjadi "juragan
kecil" baru. Hal ini disadari
sepenuhnya oleh pengrajin pendahulu tersebut, dan karena
itulah hanya orangorang
terpilih yang diperlakukan sebagai keluarga dekatnya,
sedangkan kepada
buruh atau pemagang yang notabene adalah orang lain tetap
dijaga jarak.
Proses magang yang menghantarkan petani ke pekerjaan baru
sebagai
pengrajin industri kecil, menghasilkan kualitas pengrajin
yang bermacam-macam
tingkatannya, tergantung pada motivasi masing-masing
pemagang dan kesempatan
yang diberikan oleh pendahulunya. Kualitas buruhpun
sangat tergantung pada
kesinambungan proses belajar dan memperbaiki
pengetahuannya terus menerus.
Disinilah makna belajar terus menerus harus diterapkan
bagi setiap buruh yang
ingin meningkatkan diri menjadi pengrajin. Seorang buruh
pengrajin yang telah teruji
kemampuannya, jika berkemauan akan menjadi pengrajin
harus didukung oleh
kualitas ketrampilan dan modal usaha sebagai pemilikan
aset usaha, serta
tersedianya pasar yang mau menampung produksinya.
Dari uraian diatas, transformasi pekerjaan dari petani ke
pengrajin industri
dapat dikatakan tidak linier, dalam arti sewaktu yang
bersangkutan telah mulai
bekerja di bidang industri kecil juga masih ada yang
terus bekerja sebagai petani
atau buruh tani. Setelah yang bersangkutan merasakan
lebih enak dan
menguntungkan sebagai pengrajin industri kecil, baru
kemudian meninggalkan
pekerjaan pertanian. Sungguhpun demikian, masih banyak
buruh pengrajin yang
berstatus kerja sambilan dan sebagian waktunya
dipergunakan untuk bertani. Hanya
para pengrajin besar yang sering disebut pengrajin
pengusaha atau juragan sajalah,
kini yang telah meninggalkan sama sekali pekerjaan
pertanian.
Deferensiasi
Sosial dan Stratifikasi Sosial
Dari uraian di atas, diketahui bahwa terjadinya
transformasi pekerjaan dari
petani ke pengrajin industri kecil dalam suatu desa yang
semula merupakan desa
pertanian, telah mengarah pada terbentuknya kondisi yang
tidak saja terjadinya
diferensiasi sosial tetapi juga terjadinya stratifikasi
sosial.
Semula pekerjaan yang dikenal oleh anggota masyarakat
hanyalah petani
dan/atau buruh tani, pegawai dan penganggur. Kini,
kemudian muncul adanya
kelompok sosial lain yaitu pengrajin dengan berbagai
jenis dan lapisan, terdiri dari:
buruh pengrajin, pengrajin dan pengrajin pengusaha.
Itulah diferensiasi sosial yang
terjadi. Diferensiasi sosial yang demikian ini muncul
karena adanya perbedaan
kekayaan/ pemilikan barang, harga diri, dan pekerjaan,
yang kemudian
mempertajam stratifikasi sosial. Manakah diantara petani
dan pengrajin yang lebih
tinggi kelas sosialnya, menjadi proses yang terus
bergulir di masyarakat ini.
Dari pengamatan di lapangan tampaknya, pengrajin secara
keseluruhan
lebih tinggi status sosialnya dibandingkan petani.
Kepemilikan barang seperti mobil,
sepeda motor, TV, rumah yang permanen, dan lainnya yang
lebih banyak dimiliki
oleh pengrajin, misalnya, menjadi ukuran bagi cara
pandang masyarakat
membandingkan dua jenis pekerjaan ini. Sungguhpun
demikian, dijumpai pula di
6
lokasi studi ini bahwa ada pengrajin yang berhasil (dari
yang semula berasal dari
bekas buruh tani = non pemilik lahan ), berusaha membeli
sawah untuk dimilikinya.
Kenyataannya, yang bersangkutan kemudian tidak
mengerjakan sendiri sawah itu,
sehingga mungkin secara sosiologis dapat dimaknai bahwa
mereka membeli sawah
hanya untuk menyamakan "status sosialnya"
dengan para pengrajin bekas pemilik
lahan. Atau, kenyataan itu bisa sebagai tanda bahwa
tingkat keterikatan mereka
dengan pertanian masih tinggi. Menggunakan istilah
Saragih (1994), bahwa
agroindustri merupakan jembatan antara industri dengan
pertanian, maka mereka
ini bisa mungkin akan terus ke depan atau kembali lagi ke
pertanian dalam arti
yang lebih luas.
Dengan banyaknya orang petani/buruh tani yang pindah
pekerjaan sebagai
pengrajin/buruh pengrajin di desa-desa sentra industri
kecil, kemudian masyarakat
tersebut menjadi masyarakat yang lebih majemuk.
Terjadinya transformasi pekerjaan petani ke pengrajin,
telah memperjelas
munculnya stratifikasi sosial ( setidaknya dalam kelas
pekerja industri kecil itu),
yaitu: adanya kelas buruh, kelas pengrajin dan kelas
pedagang
pengumpul/pengusaha. Ketiga pelapisan tersebut sekaligus
membedakan status
sosial diantara mereka.
Mobilitas
Sosial
Transformasi pekerjaan petani ke pengrajin industri
kecil, juga telah
mengakibatkan terjadinya proses mobilitas sosial, baik
vertikal maupun horisontal.
Mobilitas sosial itu dapat dijelaskan dengan proses
mereka menjadi buruh,
pengrajin atau pengrajin pengusaha.
Karena terbatasnya pekerjaan di sektor pertanian, buruh
tani pindah atau
bekerja sambilan sebagai buruh di industri kecil. Mereka
yang sebagai buruh purna
waktu umumnya tidak memiliki lahan sawah atau tegalan,
atau karena terbatasnya
jumlah upah sebagai buruh tani mereka memilih bekerja
sebagai buruh pengrajin.
Dengan demikian pekerjaan buruh industri kecil bagi
mereka adalah sebagai
"pekerjaan utama." . Inilah contoh dari
mobilitas horisontal.
Adapun bagi buruh pengrajin yang masih memiliki lahan pertanian,
mereka
hanya bekerja sebagai buruh sambilan, dan fungsi
pekerjaannya hanyalah
penambah pendapatan. Istilah yang sering diungkapkan oleh
mereka yaitu “nasinya
dari sawah dan lauknya dari pekerjaan industri.” Dalam
kasus ini sebenarnya
merupakan proses mobilitas sosial yang vertikal "ke
bawah," karena kemudian
menjadi pekerja dari orang lain. Namun jika bekerja
sambilan ini dilihat sebagai
"proses belajar" untuk dapat menjadi pengrajin,
maka disebut mobilitas vertikal.
Bagi pengrajin (sering disebut “juragan kecil”), umumnya
masih bekerja
sebagai pengrajin sambil bertani. Kalaulah mereka tidak
bertani, tanah-tanah
mereka disewakan kepada petani lain. Mereka belum
sepenuhnya menaruh harapan
kepada industri kecil, dan karenanya tanah-tanah
pertaniannya dijadikan
penyangga/alternatif jika terjadi kerugian dalam usaha
industrinya. Hal ini contoh lain
dari proses mobilitas sosial horizontal. Dalam pembuatan
kartu tanda penduduk
(KTP), menurut penuturan pegawai suatu desa di sentra
industri kecil tersebut,
orang-orang demikian didesanya lebih menyukai disebut
identitas pekerjaannya
dalam KTP sebagai “wiraswasta” daripada sebagai petani,
sungguhpun dalam
kenyataannya mereka masih memiliki sawah. Bahkan label
pekerjaan “wiraswasta”
dalam KTP, menurut pegawai desa tersebut juga digunakan
bagi para buruh industri
kecil. Sebutan “buruh” menurut mereka adalah kasar,
sehingga digunakan sebutan
tersebut. Hal ini menandakan bahwa pekerjaan pengrajin
lebih dihormati, atau
kebanggaan menjadi pengrajin lebih tinggi daripada
sebagai petani.
Bagi pengrajin pengusaha umumnya tidak lagi mempunyai
lahan pertanian,
7
karena lahan mereka sudah dijual untuk modal usaha bagi
pengembangan usaha
industri kecil. Mereka begitu yakin tergantung/
menggantungkan hidupnya pada
industri kecil, karena pengalaman mereka telah
menunjukkan hasil yang sangat
menggembirakan bagi jaminan hidup keluarganya. Kalaulah
mereka memiliki lahan
pertanian (pada umumnya dibeli setelah menjadi
pengrajin), dan/atau fungsi lahan
yang masih ada tersebut sebagai “tabungan” atau barang
investasi bagi
pengembangan usahanya. Jumlah mereka dalam studi ini
hanya sedikit, yaitu
sekitar 13,5 persen dari komunitas industri kecil
tersebut. Orang-orang seperti ini
menjadi "teladan" dan "model" bagi
lingkungannya, dan dalam kenyataannya
mereka dipandang memiliki status sosial yang lebih
tinggi. Kondisi seperti ini ikut
mempercepat dan memacu perkembangan usaha industri kecil
di desa-desa sentra
industri kecil tersebut. Mereka inilah yang menjalani
mobilitas vertikal dari petani ke
pengrajin industri kecil, dan telah mentransformasikan
dirinya dari budaya agraris ke
budaya industri kecil pedesan.
Gambaran proses mobilitas sosial petani ke pengrajin
dapat diskemakan
berikut ini:
buruh industri
* Petani masih bertani tdk. lagi
pemilik lahan (sambilan ) bertani
pengrajin
MAGANG masuk industri Pengrajin
INDUSTRI kecil Pengusaha
pengrajin
*Buruh tani tidak lagi buruh
*Penyewa buruh tani industri
*Penyakap tetap buruh
Gambar 1: Skema Mobilitas Sosial Petani ke Pengrajin Industri
Kecil
Terdapatnya orang-orang yang semula bekas petani non
pemilik lahan
(buruh tani) dan kini telah menjadi pengrajin pengusaha
adalah suatu sukses yang
menarik perhatian. Dalam studi ini ditemukan empat orang.
Mereka tersebut adalah
tiga orang di pengrajin rotan dan seorang di pengrajin
kayu. Kempat orang tersebut
jika dilihat pendidikannya: tiga orang berpendidikan SMTA
dan seorang diantaranya
tidak tamat, dan seorang yang lainnya pernah kuliah di
perguruan tinggi tapi tidak
tamat. Keempatnya pernah magang, menjadi buruh, dan dua
diantaranya pernah
mengikuti kursus yang diselenggarakan oleh Departemen
Perindustrian setelah
yang bersangkutan menjadi pengrajin, dan seluruhnya
menjalin konsultasi usaha
dengan LSM pembina pengrajin. Mereka berhubungan dengan
bank dan pernah
mendapat bantuan pinjaman dari BUMN/PLN. Usia mereka 43
tahun , 48 tahun,
49 tahun dan 52 tahun. Keempatnya berstatus sebagai
pedagang pengumpul
sekaligus pengrajin, yaitu menjadi penghubung antara
pengrajin dengan
pengekspor. Ini merupakan contoh lain dari mobilitas
sosial vertikal. Mereka ini
menjadi “patron dan sumber motivasi” bagi petani kecil
lain yang beralih ke
pekerjaan industri kecil untuk berhasil dalam usahanya.
Dengan menggunakan perbedaan ciri-ciri komunitas
masyarakat industri dan
komunitas desa pertanian (Suparlan,1994), tampaknya
komunitas pedesaan sentra
industri kecil di sekitar Surakarta lokasi studi ini
dapat diidentifikasikan bahwa:
8
pertama,
di desa-desa ini
telah banyak menggunakan alat produksi berupa mesinmesin
yang memunculkan basis produksi berupa bengkel atau
semacam pabrik atau
gudang. Kedua, telah terjadi hubungan antara pemberi upah dan buruh
yang
mencirikhaskan hubungan majikan-buruh, walaupun belum
seketat birokrasi pabrik.
Ketiga, telah mulai dominan berkembangnya
ekonomi pasar dan hubungan
kekeluargaan cenderung semakin mengendor dalam urusan
perdagangan.
Keempat, pekerjaan buruh industri kecil lebih
menjadi pilihan daripada sebagai
buruh tani. Kelima, dengan adanya tuntutan menjual produk bagi kebutuhan
ekspor,
menjadikan pembagian waktu bagi bagi pengrajin relatif
ketat batas-batasnya.
Kesimpulan
dan Saran
Kondisi yang demikian tersebut dari sisi prosesnya tidak
dapat dilepaskan
dengan peranan pendidikan magang sebagai yang
menjembatani transformasi
pekerjaan dari yang semula sebagi petani menjadi
pengrajin industri kecil. Motivasi
untuk berpindah pekerjaan, kesempatan
belajar berusaha terutama melalui
magang, proses kesinambungan belajar,
yang didukung oleh pemilikan
modal ketrampilan dan modal usaha sebagai pemilikan aset usaha,
serta
tersedianya pasar yang mau menampung produksinya akan
mengantarkan
seseorang menjadi pengrajin yang berhasil. Demikian juga
makna belajar terus
menerus harus diterapkan bagi setiap orang yang ingin
meningkatkan diri menjadi
pengrajin yang berhasil.
Keberhasilan magang industri di kalangan petani telah
merubah deferensiasi
sosial dan stratifikasi sosial pedesaan yaitu dengan
munculnya kelompok-kelompok
sosial pengrajin dengan berbagai jenis dan lapisan. Dalam
perkembangannya kelas
sosial petani yang dianggap tinggi tergeser oleh
pengrajin.
Melalui pendidikan magang, mobilitas sosial petani baik
secara horizontal
maupun vertikal diantarkan menuju komunitas industri
industri. Paling tidak, dari
penjelasan di atas, kalaulah mereka belum dapat disebut
sebagai komunitas
industri, maka setidaknya proses menuju kesana sedang
terjadi. Penyesuaianpenyesuaian
budaya dari agraris ke industripun mulai mengikuti proses
pembentukan komunitas industri tersebut.
Perubahan-perubahan perilaku penduduk
terus berlangsung mengikuti perkembangan industri itu
sendiri. Dengan kata lain,
setidaknya bahwa desa yang masyarakatnya seperti ini
tidak lagi dapat
diasosiasikan sebagai wilayah agraris, sungguhpun
disekitarnya masih terbentang
sawah yang luas.
Mendasarkan hal-hal diatas, maka perlu dilakukan
optimalisasi fungsi
pendidikan magang sebagai metode penyuluhan industri
kecil di pedesaan.
9
Daftar Pustaka
Abdullah, Taufik dan A.C. van der
Leeden, 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi
Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Foster, George
M.1967."Introduction: What is a Peasant" Diedit oleh Jack M. Potter
dalam Peasant Society:
A Reader,
Boston: Litlle, Brown and Companny.
Karsidi, Ravik, 1999. Kajian Keberhasilan Transformasi Pekerjaan dari Petani ke
Pengrajin Industri Kecil (Disertasi Doktor Institut Pertanian Bogor),
tak diterbitkan.
Marzali, Amri, 1995. Masyarakat Pedesaan Indonesia, Universitas
Indonesia, Makalah tak
diterbitkan
Saragih, Bungaran, 1998. Agribisnis Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis
Pertanian, Bogor: YMPI dan LSP IPB.
Scott,James.C.1993 (terjemahan).Perlawanan Kaum Tani.Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Syaifudian, Hetifah dan Erna Ernawati
Chotim, 1994. Dimensi Starategis Pengembangan
Usaha Kecil: Subkontrak pada Industri Garmen Batik, Akatiga: Bandung.
Suparlan, Parsudi,1994. “Mempersiapkan
Maysrakat Pedesaan Menuju Era Industrialisasi:
Dalam Pembangunan Yang Terpadu dan Berkesinambungan. Diedit P.Suparlan,
Jakarta: Balitbangsos Depsos RI.
Wolf, Eric R. 1966/1983. Petani, Suatu Tinjauan Antropologis terjemahan.
Jakarta; YIIS.